Konsultan Pajak Lukman Tax Center

Konsultan Pajak Lukman Tax Center

Konsultan Pajak Lukman Tax Center
  • Amnesti Pajak
  • Downloads
    • Download E-Faktur
    • Formulir Pajak
  • Tanya Jawab
  • Contact
  • Profile

Ini Dua Tujuan Negara dari Pajak Progresif Tanah

Share Button

VIVA.co.id – Guna menegakkan konteks keadilan dan pemerataan kepemilikan lahan di Indonesia, pemerintah sedang menggodok aturan yang akan mengenakan pajak progresif bagi tanah, atau lahan-lahan yang tidak produktif.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Direktorat Jenderal Pajak Hestu Yoga Saksama menegaskan, dua poin utama dari kebijakan ini salah satunya adalah, agar bisa memberikan pemasukan bagi negara, serta menggerakkan potensi roda perekonomian yang ada.

“Dari lahan-lahan mengganggur yang ada, misalnya di sekitar Jalan Gatot Subroto, itu kan sangat tidak produktif. Padahal, kalau lahan itu dibangun, pemerintah bisa dapat pajak, dan masyarakat bisa mendapatkan lapangan pekerjaan,” kata Yoga di sebuah hotel kawasan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat, Rabu 8 Februari 2017.

Selain itu, sebagai upaya menegakkan asas keadilan dalam hal kepemilikan lahan, tujuan dari regulasi yang kini sedang digodok pemerintah ini adalah untuk memberantas para spekulan tanah.

Karena, menurut Yoga, banyak kasus di mana ketika suatu daerah akan dibangun jalan tol, atau infrastruktur lainnya, maka banyak yang berebut membeli tanah di sekitar area itu bukan karena perlu, tetapi hanya agar bisa dijual ketika harganya semakin tinggi.

“Di sini, pemerintah bicara mengenai keadilan dan kesempatan setiap warga negara untuk memiliki lahan. Karena, ada orang yang punya begitu banyak tanah, sementara orang lain enggak punya tanah sedikit pun,” kata Yoga.

Oleh karenanya, Yoga menjelaskan, upaya pemerintah dalam merealisasikan kedua tujuan itu, adalah melalui kebijakan di sektor fiskal. Agar, distribusi kekayaan dari orang-orang kaya bisa mengalir dan ikut dirasakan juga manfaatnya oleh orang miskin.

“Karena, melalui kebijakan fiskal, pemerintah juga memiliki fungsi budgeter untuk menjalankan negara. Dengan fungsi regulasi dari pajak itu sendiri, pemerintah akan menggunakannya untuk mengatur kebijakan. Seperti misalnya mengambil pajak dari orang kaya, untuk diberikan kepada orang miskin,” ujarnya. (asp)

13 Februari 2017 Robertus Ballarminus Leave a comment

Kepala Bappenas Jelaskan Skema Baru Hitung Pajak Tanah

Share Button

VIVA.co.id – Pemerintah akan memberlakukan sistem baru dalam pengenaan pajak transaksi pembelian dan penjualan tanah. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Bambang Brodjonegoro, mengungkapkan, jika sebelumnya hal itu menggunakan acuan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), ke depannya diubah menggunakan skema capital gain tax alias pajak keuntungan jual beli.

Langkah itu diambil pemerintah, kata Bambang, karena selama ini banyak penjual atau pembeli tanah yang melaporkan pajak, yang nilainya tidak sesuai nilai transaksi sebenarnya.

“Khawatirnya, saat jual-beli tanah, yang dilaporkan ke pajak itu bukan nilai jual yang sebenarnya, tapi sekecil mungkin. Dasarnya hanya transaksi. Kalau capital gain, maka dia harus bayar sesuai dengan harga yang sebenarnya. Supaya dia sendiri enggak rugi nantinya,” kata Bambang di di Jakarta pada Kamis, 2 Februari 2017.

Mantan Menteri Keuangan itu menjelaskan, skema pemberlakuan capital gain itu dengan menerapkan penambahan pembayaran pajak, sesuai kenaikan harga tanah yang menjadi objek pajak. Sederhananya, pajak akan dihitung dari selisih harga pembelian dengan harga saat dijual.

“Jadi, misalnya, kamu punya tanah senilai Rp1juta per meter persegi, kamu diamkan lima tahun, kemudian kamu jual saat harganya sudah Rp10 juta per meter persegi. Maka pajak yang dibayarkan adalah dari kenaikan harga tersebut, itulah capital gain. Jadi yang dibayarkan nilai ketika menjual dengan melihat selisihnya,” kata Bambang.

Menurut Bambang, dengan penggunaan skema NJOP selama ini, ada kecenderungan pajak transaksi yang dibayar oleh pembeli maupun penjual tanah menjadi lebih rendah dari pajak yang seharusnya dibayar dari nilai transaksi sebenarnya.

Dia pun berharap, hal semacam itu bisa segera ditangani melalui penerapan pajak dengan skema capital gain tax. “Oleh karenanya, pemerintah akan memberlakukan kebijakan disinsentif melalui unutilized asset tax untuk mencegah spekulasi tanah maupun pembangunan properti yang tidak dimanfaatkan,” ujarnya. (ren)

4 Februari 2017 Robertus Ballarminus 2 Comments

Pajak Progresif Lahan Nganggur, Paksa Orang Miskin Jual Tanah?

Share Button

JAKARTA – Pemerintah berencana akan menerapkan pajak progresif bagi lahan yang tidak digunakan. Kebijakan ini muncul setelah pemerintah melihat banyaknya lahan tidak dimanfaatkan oleh pemilik dengan tujuan sebagai investasi.

Pengusaha nasional yang juga Wakil Ketua Aprindo Tutum Rahanta mengungkapkan, kebijakan ini memang akan memberikan dampak positif kepada pembangunan di Indonesia. Sebab, dengan adanya pajak progresif, maka para spekulan tanah akan berpikir ulang untuk memiliki tanah di luar batas.

“Negara betul berhak melindungi masyarakat bawah agar tidak dipermainkan spekulan tanah. Di negara maju juga begitu. Tapi dengan pola-pola seperti ini harus hati-hati,” tuturnya kepada Okezone.

Hanya saja, pemerintah harus memilah objek tanah yang akan dikenai kebijakan pajak progresif. Pasalnya, kebijakan ini bisa saja merugikan masyarakat kecil apabila diterapkan kepada seluruh lapisan masyarakat.

“Orang akan menjual tanah, orang miskin dipaksa untuk menjual tanah. Orang kaya akan bisa membeli. Karena misalnya orang tua saya kaya belum tentu saya kaya. Jadi kalau saya dikenai pajak progresif maka saya terpaksa jual tanah saya. Jadi orang miskin dipaksa untuk menjual tanah,” jelasnya.

Sebelumnya, Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil mengungkapkan bahwa program penerapan pajak progresif pada tanah ini harus diterbitkan dalam bentuk UU. Diharapkan, masyarakat tak lagi melakukan spekulasi terhadap lahan yang tidak digunakan sama sekali dengan berharap capital gain.

“UU pertanahan akan kita masukkan itu sebagai dasar agar nanti ada ketentuan perpajakannya,” jelasnya belum lama ini.

4 Februari 2017 Robertus Ballarminus Leave a comment

KPK Ikut Monitor Penerimaan Pajak DKI di 13 Area Ini

Share Button

Jakarta – KPK memberi perhatian khusus tentang penerimaan pajak. Menurut Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, pajak itu bagian dari pembangun integritas dan karakter bangsa.

Salah satu langkah yang dilakukan yaitu pada Jumat kemarin, tim optimalisasi penerimaan daerah KPK bekerja sama dengan Badan Pajak dan Retribusi Daerah Provinsi DKI Jakarta untuk mencegah kebocoran penerimaan pajak.

“Tidak hanya di DKI. Di banyak tempat tidak optimal walau ada upaya ekstensifikasi dan intensifikasi namun akal sehat kita menunjukkan bahwa masalah datang dari wajib pajak dan petugas pajak,” ucap Saut mengawali perbincangan, Sabtu (4/2/2017).

“Dalam proses koordinasi supervisi monitoring KPK, format di DKI akan kita kembangkan ke daerah lain agar negeri ini cepat makmur. Uang negara ini banyak banyak sekali cuma hanya tidak merata karena korupsi serta tidak benar dalam hal pajak dan cukai,” imbuh Saut.

Saut mengatakan ada 13 area utama yang akan dikejar penerimaan pajaknya. Apabila ada pelanggaran-pelanggaran atau kebocoran pajak, nantinya KPK yang akan turun tangan.

“Di DKI kita sudah punya program ada 13 area utama yang mau kita kebut. Parkir, restoran, hotel, air tanah, PBB, rokok, dan lain-lain. Pajak kendaraan saja DKI bisa mencapai Rp 2 triliun, sama dengan membangun 1 Bandara Kualananamu,” ujar Saut.

Menurut Saut, KPK harus turut serta dalam perbaikan penerimaan pajak. Saut menegaskan KPK tidak hanya akan melakukan tindakan terhadap pelanggaran yang muncul di permukaan saja tetapi harus juga mendorong perbaikan di berbagai sektor agar peristiwa yang sama tidak terulang.

“Itu sebabnya KPK harus detail. Tidak boleh lagi hanya di permukaan. Bagaimana standar baku operasional yang harus dilakukan termasuk kalau masih ada tumpang tindih peraturan. Sebagaimana kita ketahui aparat pengawas internal milik pemerintah misalnya BPKP bisa membantu apa dari sisi pajak ini kita akan libatkan juga KPK dan Pemda. Intensifikasi teknologi elektronik dalam transaksi dengan bank-bank yang terlibat agar mereka memberi pelayanan terbaiknya juga akan kita pelajari lagi. Sejauh apa bank ini mendorong atau menghambat perpajakan akan kita lihat juga,” kata Saut.

4 Februari 2017 Robertus Ballarminus Leave a comment

Sindiran Sri Mulyani ke Pengusaha: Gaji Tinggi, Tak Bayar Pajak

Share Button

Liputan6.com, Jakarta – Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati secara blak-blakan menjelaskan upaya pemerintah untuk  target penerimaan pajak di hadapan para pemimpin (Chief Executive Officer/CEO) perusahaan nasional maupun multinasional. Menkeu menyindir masih banyak pengusaha yang tidak patuh membayar pajak.

“Bedanya penghasilan saya dan Anda (pengusaha) seperseratus. Kalau Anda sudah overpaid, tidak bayar pajak pula,” sindir Sri Mulyani saat ditemui di acara CEO Gathering di kantor APINDO, Jakarta, Jumat (3/2/2017).

Sri Mulyani mengaku, realisasi penerimaan pajak sejak 2014 tidak tercapai. Lanjutnya, ada kekurangan penerimaan pajak Rp 100 triliun di 2014 dan Rp 248 triliun pada 2015. Sementara kekurangan penerimaan pajak sebesar Rp 218 triliun di APBN-P 2016 akibat target terlalu tinggi, sehingga belanjanya perlu dipotong

“Makanya tema saya saat jadi Menkeu, back to kredibilitas. Karena APBN ‎adalah satu satu informasi penting,” ucapnya.

Lebih jauh kata dia, pemerintah dan DPR sepakat mematok target penerimaan bea dan cukai sebesar Rp 1.498 triliun di APBN 2017. Menurut Sri Mulyani, target tersebut merupakan tantangan ‎yang tidak mudah.

“‎Sangat masif targetnya, ini tantangan tidak mudah. Saya mau sampaikan ke APINDO, para CEO jangan datang ke saya untuk minta tidak bayar pajak. Tapi datang ke saya untuk bayar pajak,” kata Sri Mulyani.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menunjukkan data rasio pajak di Indonesia lebih rendah ‎dibanding Malaysia dan Thailand. Negara tetangga itu, kata Sri Mulyani, mampu mencatatkan rasio pajak 15 persen terhadap PDB. Sementara rasio pajak di Indonesia baru 11 persen.

“‎Kalau kita tidak bisa mengumpulkan penerimaan pajak, saya tidak bisa mengalokasikan anggaran untuk pembangunan infrastruktur , membayar gaji guru dan polisi, dan lainnya. Kalau ini terjadi, bisa menjadi masalah, akibatnya ekonomi kita jadi tidak sehat,” terang dia.

Rasio pajak yang rendah, diakuinya, karena tingkat kepatuhan pembayaran pajak di Indonesia juga sangat rendah. Dijelaskan Sri Mulyani, dari 32 juta Wajib Pajak‎ yang terdaftar, sebanyak 20 juta Wajib Pajak yang wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh. Sayangnya, yang membayar pajak dengan benar hanya 12,7 juta Wajib Pajak.

“Rasio kepatuhan pajak masih rendah. Makanya saya ingatkan pajak tidak hanya untuk Kemenkeu, tapi pajak jadi tools efektif dan powerfull, untuk mengatasi kesenjangan. Jangan sampai ada yang duduk di sini, ada yang bayar pajak banyak, tapi ada yang tidak bayar. Harus adil dan merata,” harap Sri Mulyani.

4 Februari 2017 Robertus Ballarminus Leave a comment

Menimbang Untung Rugi Pajak Buat Tanah Nganggur

Share Button

Liputan6.com, Jakarta – Pemerintah baru saja meluncurkan Paket Kebijakan Ekonomi Berkeadilan. Ide pungutan pajak tanah menganggur atau tidak produktif dipilih sebagai instrumen pemerataan dan penciptaan keadilan sosial.

Dari dua skenario atau mekanisme pengenaan pajak tanah, yakni capital gain tax atau pajak atas keuntungan dan pajak progresif, mana yang lebih cocok untuk diterapkan?

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo mengatakan, agar kebijakan pajak tanah nganggur bisa efektif, implementasinya perlu dipikirkan, baik level regulasi (jenis pajak apa yang tepat) dan teknis (administrasinya paling mungkin dan mudah).

“Basis pengenaan pajak bisa dua, pengusahaan (lahan tidak produktif) dan penguasaan (kepemilikan berlebih). Bisa juga sekalian diatur, tanah atau bangunan yang dijual kurang dari 5 tahun dianggap spekulasi sehingga dikenai pajak lebih tinggi,” jelas Prastowo dalam keterangan resminya di Jakarta, Jumat (3/2/2017).

Pemerintah mewacanakan penerapan pajak tanah, antara capital gain tax (CGT) ataukah pajak progresif. Keduanya jenis pajak berbasis Pajak Penghasilan (PPh), akan dikenakan saat ada transaksi penjualan atau pengalihan.

Prastowo menjelaskan, CGT adalah pajak atas keuntungan, yaitu selisih antara harga jual dan harga perolehan atau harga beli.

“Sebagai contoh, tanah harga perolehan Rp 100 juta, dijual Rp 500 juta. Berarti ada selisih Rp 400 juta. Ini yang dipajaki, misalnya 5 persen. Berarti pajaknya 5 persen x Rp 400 juta sebesar Rp 20 juta,” katanya.

Sementara pajak final progresif, tambah dia, adalah pengembangan dari PPh atas Pengalihan Hak atas Tanah atau Bangunan yang dikenakan atas nilai pengalihan (nilai transaksi).

“Progresif karena sasarannya tanah yang menganggur atau kepemilikan kedua, ketiga, dan seterusnya. Contoh di atas, misalnya tarif 5 persen x Rp 500 juta= Rp 25 juta,” Prastowo menerangkan.

Kelebihan dan Kerugian

Kelebihan dan Kerugian

Prastowo menilai, kelebihan dan kekurangan CGT maupun pajak progresif apabila diterapkan untuk tanah idle. Dia berpendapat, CGT adalah jenis pajak yang ideal, karena dikenakan atas keuntungan sehingga lebih adil sesuai prinsip pajak, yaitu dikenakan atas tambahan kemampuan ekonomis.

“Tapi kelemahan CGT adalah ketersediaan basis data, yaitu data harga perolehan tanah dan data kepemilikan. Siapa sasarannya dan berapa nilai asetnya. Maka perlu integrasi data kepemilikan dan data nilai tanah yang baik, sinergi antara BPN dan Ditjen Pajak,” tuturnya.

Lebih jauh kata dia, pajak progresif, bisa dianalogikan dengan pajak kendaraan. Saat kita memiliki kendaraan lebih dari satu, kendaraan kedua, ketiga, dan seterusnya dikenai tarif progresif.

“Skema pungutan pajak ini adalah modifikasi dari pajak final yang sudah ada, tinggal diubah tarif progresif untuk tanah menganggur atau kepemilikan tanah kedua, ketiga, dan seterusnya,” papar Prastowo.

Sementara kelemahan pajak progresif, kata dia, tidak ideal, seperti CGT karena basisnya transaksi, orang cenderung menghindari nilai pasar. Maka tantangannya adalah penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang kontinu sehingga mendekati harga pasar.

Menurut Prastowo, CGT maupun Pajak Final Progresif (PFP) sama-sama mempunyai kelemahan. Pertama, dikenakan saat adanya transaksi, padahal skema disinsentif ini justru akan efektif saat dikenakan tahunan (periodik) sehingga mendorong pemilik untuk mengusahakan lahan sehingga produktif, atau menjualnya.

Kedua, selama ini ada BPHTB untuk pembeli. Karena ini domain Pemerintah Daerah (Pemda), maka sulit untuk mengikuti perubahan kebijakan pusat. Perlu adanya koordinasi yang lebih baik.

Terkait kelemahan CGT dan PFP, maka justru harus ada pajak yang dikenakan periodik (tiap tahun) dengan tarif progresif (seperti atas kendaraan), agar menjadi insentif orang untuk mengusahakan lahannya atau menjualnya.

“Maka PBB (Pajak Bumi Bangunan) jadi pilihan yang mungkin. Hanya saja, kembali ke problem inkompatibilitas Otda, PBB P2 (Perdesaan Perkotaan) adalah domain Pemda. Perubahan harus via UU dan ada koordinasi pengaturan supaya adil,” Prastowo menuturkan.

Dirinya beranggapan, ide yang baik ini perlu didukung namun juga perlu dipikirkan efektivitas implementasinya. “Jangan sampai ada ketidakadilan baru (BPHTB tetap tinggi, tiap daerah beda perlakuan), dan juga menciptakan loopholes untuk melakukan penghindaran pajak,” jelasnya.

Menurut Prastowo, ini momentum terbaik untuk mulai memikirkan kebutuhan Comprehensive Tax Reform, sebuah reformasi perpajakan yang menyeluruh, menyentuh dimensi kebijakan, regulasi, dan administrasi, dan bukan tambal sulam.

Dengan demikian, ada injeksi visi baru sistem perpajakan yang berkeadilan. Revisi UU Perpajakan perlu dipertimbangkan menjadi revisi menyeluruh terhadap seluruh UU terkait (UU Perbankan, UU Adminduk, UU di bidang Pertanahan, dan UU Perpajakan) termasuk mandat harmonisasi, sinkronisasi, dan integrasi dengan sektor lain.

Prastowo mendesak, pemerintah segera memberikan penjelasan yang utuh dan menyeluruh, agar tujuan kebijakan pajak tanah tidak menimbulkan keresahan di kalangan pelaku usaha real estate, atau kelompok masyarakat lainnya.

“Bahwa sasaran dan tujuan kebijakan ini cukup jelas dan tidak akan menimbulkan distorsi, bahkan menangkal upaya spekulasi dan melindungi akses warga negara pada tempat tinggal yang merupakan hak dasar, termasuk mendapatkan sumber daya berupa pajak untuk belanja sosial,” tutup Prastowo. (Fik/Gdn)

4 Februari 2017 Robertus Ballarminus Leave a comment

Posts navigation

← Previous 1 … 31 32

Pos-pos Terbaru

  • Intip Mekanisme Pembayaran Pajak Karbon
  • Pemerintah akan Berikan Insentif Pajak untuk Industri Tekstil dan Garmen
  • Pemerintah Bakal Genjot Penerimaan Pajak Transaksi Digital, Ini Alasannya
  • Selamat! Orang RI dengan Kategori Ini Bebas Dari Pajak
  • 22 Juta Wajib Pajak Telah Bisa Gunakan NIK Sebagai NPWP

Find Us

Powered by WordPress | theme SG Simple