Kelebihan dan Kerugian
Prastowo menilai, kelebihan dan kekurangan CGT maupun pajak progresif apabila diterapkan untuk tanah idle. Dia berpendapat, CGT adalah jenis pajak yang ideal, karena dikenakan atas keuntungan sehingga lebih adil sesuai prinsip pajak, yaitu dikenakan atas tambahan kemampuan ekonomis.
“Tapi kelemahan CGT adalah ketersediaan basis data, yaitu data harga perolehan tanah dan data kepemilikan. Siapa sasarannya dan berapa nilai asetnya. Maka perlu integrasi data kepemilikan dan data nilai tanah yang baik, sinergi antara BPN dan Ditjen Pajak,” tuturnya.
Lebih jauh kata dia, pajak progresif, bisa dianalogikan dengan pajak kendaraan. Saat kita memiliki kendaraan lebih dari satu, kendaraan kedua, ketiga, dan seterusnya dikenai tarif progresif.
“Skema pungutan pajak ini adalah modifikasi dari pajak final yang sudah ada, tinggal diubah tarif progresif untuk tanah menganggur atau kepemilikan tanah kedua, ketiga, dan seterusnya,” papar Prastowo.
Sementara kelemahan pajak progresif, kata dia, tidak ideal, seperti CGT karena basisnya transaksi, orang cenderung menghindari nilai pasar. Maka tantangannya adalah penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang kontinu sehingga mendekati harga pasar.
Menurut Prastowo, CGT maupun Pajak Final Progresif (PFP) sama-sama mempunyai kelemahan. Pertama, dikenakan saat adanya transaksi, padahal skema disinsentif ini justru akan efektif saat dikenakan tahunan (periodik) sehingga mendorong pemilik untuk mengusahakan lahan sehingga produktif, atau menjualnya.
Kedua, selama ini ada BPHTB untuk pembeli. Karena ini domain Pemerintah Daerah (Pemda), maka sulit untuk mengikuti perubahan kebijakan pusat. Perlu adanya koordinasi yang lebih baik.
Terkait kelemahan CGT dan PFP, maka justru harus ada pajak yang dikenakan periodik (tiap tahun) dengan tarif progresif (seperti atas kendaraan), agar menjadi insentif orang untuk mengusahakan lahannya atau menjualnya.
“Maka PBB (Pajak Bumi Bangunan) jadi pilihan yang mungkin. Hanya saja, kembali ke problem inkompatibilitas Otda, PBB P2 (Perdesaan Perkotaan) adalah domain Pemda. Perubahan harus via UU dan ada koordinasi pengaturan supaya adil,” Prastowo menuturkan.
Dirinya beranggapan, ide yang baik ini perlu didukung namun juga perlu dipikirkan efektivitas implementasinya. “Jangan sampai ada ketidakadilan baru (BPHTB tetap tinggi, tiap daerah beda perlakuan), dan juga menciptakan loopholes untuk melakukan penghindaran pajak,” jelasnya.
Menurut Prastowo, ini momentum terbaik untuk mulai memikirkan kebutuhan Comprehensive Tax Reform, sebuah reformasi perpajakan yang menyeluruh, menyentuh dimensi kebijakan, regulasi, dan administrasi, dan bukan tambal sulam.
Dengan demikian, ada injeksi visi baru sistem perpajakan yang berkeadilan. Revisi UU Perpajakan perlu dipertimbangkan menjadi revisi menyeluruh terhadap seluruh UU terkait (UU Perbankan, UU Adminduk, UU di bidang Pertanahan, dan UU Perpajakan) termasuk mandat harmonisasi, sinkronisasi, dan integrasi dengan sektor lain.
Prastowo mendesak, pemerintah segera memberikan penjelasan yang utuh dan menyeluruh, agar tujuan kebijakan pajak tanah tidak menimbulkan keresahan di kalangan pelaku usaha real estate, atau kelompok masyarakat lainnya.
“Bahwa sasaran dan tujuan kebijakan ini cukup jelas dan tidak akan menimbulkan distorsi, bahkan menangkal upaya spekulasi dan melindungi akses warga negara pada tempat tinggal yang merupakan hak dasar, termasuk mendapatkan sumber daya berupa pajak untuk belanja sosial,” tutup Prastowo. (Fik/Gdn)