Konsultan Pajak Lukman Tax Center

Konsultan Pajak Lukman Tax Center

Konsultan Pajak Lukman Tax Center
  • Amnesti Pajak
  • Downloads
    • Download E-Faktur
    • Formulir Pajak
  • Tanya Jawab
  • Contact
  • Profile

Category Archives: Artikel Pajak

Punya Toko Online di Banyak Marketplace? Begini Ketentuan Pungutan Pajaknya

Share Button

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) meluruskan aturan pajak di marketplace yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025.

Kepala Seksi Peraturan Pemotongan dan Pemungutan PPh II DJP Ilmiantio Himawan menjelaskan, batas omzet Rp 500 juta per tahun yang menjadi patokan pemungutan PPh Pasal 22 0,5% berlaku per platform, bukan akumulasi dari seluruh markteplace tempat penjual berjualan.

Ketentuan ini dibuat untuk menjaga kesederhanaan hubungan antara penjual dan platform. Marketplace hanya perlu memungut pajak 0,5% jika omzet penjual di platform tersebut sudah melebihi Rp 500 juta dalam setahun.

“Misalnya kalau punya tokoh di marketplace A ada, marketplace B ada, maka konteks sampai dengan Rp 500 juta itu ya di masing-masing itu,” ujar Ilmiantio dalam diskusi yang digelar Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), Kamis (7/8).

Namun, Ilmiantio menekankan bahwa penjual tetap memiliki kewajiban menghitung total omzet dari semua tokonya di berbagai platform. 

Hal ini mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022, yang mengatur kewajiban pajak berdasarkan total omzet tahunan.

“Misalnya di marketplace A menyampaikan pernyataan sampai dengan Rp 500 juta belum mencapai. Marketplace B menyampaikan lagi, Marketplace C menyampaikan lagi. Intinya 3 marketplace itu gak memungut 0,5%. Tapi setelah ditotal dari 3 tokoh itu Rp 1 miliar. Nah makanya harus setor sendiri,” katanya.

Menurutnya, kebijakan ini diharapkan memberi kepastian hukum bagi pelaku usaha daring sekaligus mencegah kerumitan administrasi bagi marketplace.

14 Agustus 2025 Robertus Ballarminus Leave a comment

Banyak Aturan Pajak Baru Berlaku pada 2025, Tapi Kas Negara Diramal Tetap Seret

Share Button

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Sejumlah regulasi pajak baru resmi berlaku pada paruh kedua tahun 2025. Mulai dari kebijakan pajak atas aset kripto, pajak transaksi emas melalui bank bullion, hingga penunjukan marketplace sebagai pemungut pajak.

Namun, Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai, berbagai kebijakan baru di bidang pajak tersebut tidak akan memberikan lonjakan penerimaan negara secara signifikan.

“Untuk PPh, baik dari kripto maupun dari bank bullion tidak akan memberikan tambahan penerimaan secara signifikan. Namun, untuk marketplace sebagai pemungut, potensi penerimaan akan tergantung seberapa banyak merchant yang selama ini belum patuh,” ujar Fajry kepada Kontan.co.id, Minggu (10/8).

Menurutnya, mekanisme baru penunjukan marketplace sebagai pemungut pajak hanya mengubah cara pemungutan, bukan menambah beban pajak. Mekanisme tersebut akan membantu menangkap para pelaku usaha yang selama ini belum patuh. 

Fajry menilai, target penerimaan pajak 2025 memang terlalu ambisius, salah satunya bergantung pada asumsi kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12%.

Namun, pada awal tahun, pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif PPN hanya untuk barang mewah saja.

Ia melihat, regulasi yang berlaku di semester II-2025 tidak akan memperoleh penerimaan sebesar kenaikan tarif PPN.

“Jadi, ketiga regulasi yang baru dikeluarkan tidak cukup untuk mencapai target penerimaan pada tahun ini,” katanya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute, Ariawan Rahmat menilai tiga kebijakan pajak baru yang berlaku pada semester II-2025 masih terlalu kecil untuk menutup gap menuju target penerimaan pajak dalam APBN tahun ini.

“Memang sedikit menambah traksi penerimaan di Semester II ini, namun besaran tambahannya, bahkan pada skenario optimistis pun saya rasa belum mampu untuk menutup gap menuju target APBN,” kata Ariawan.

Ariawan memperkirakan, realisasi penerimaan pajak 2025 akan berakhir pada kisaran Rp 2.077,0 triliun hingga Rp 2.077,5 triliun, atau hanya kurang lebih 95% dari target.

Ariawan menjelaskan, persoalan utama ada pada waktu pelaksanaan dan cakupan (timing & coverage). PPh 22 marketplace baru berlaku pertengahan tahun dan menyasar segmen omzet tertentu sehingga dampaknya tahun ini lebih banyak pada perbaikan kepatuhan, bukan perluasan basis yang masif.

Sementara itu, aturan pajak kripto yang efektif 1 Agustus 2025 sangat bergantung pada kecepatan penunjukan penyelenggara PMSE luar negeri serta kepatuhan wajib pajak.

Untuk PPh 22 emas bullion yang juga mulai berlaku 1 Agustus 2025, meski memberi kepastian perlakuan pajak (equal treatment), basis pungutannya terbatas dengan tarif 0,25% sehingga penyerapan awalnya kecil.

Berdasarkan hitungan Ariawan, tambahan penerimaan pada Agustus–Desember 2025 dari ketiga kebijakan itu hanya berkisar Rp 0,14 triliun hingga Rp 0,62 triliun.

“Bahkan pada skenario paling optimis, tambahan ini belum cukup signifikan untuk menutup gap penerimaan,” katanya.

Ia juga mengingatkan faktor eksternal yang bisa mengerem penerimaan pajak, seperti potensi restitusi tinggi, harga komoditas yang moderat, serta batalnya kenaikan PPN menjadi 12% tahun ini. 

14 Agustus 2025 Robertus Ballarminus Leave a comment

Sri Mulyani Tolak Pajak Flat: Orang Kaya dan Buruh UMR Tak Bisa Dipajaki Sama!

Share Button

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa sistem pajak Indonesia tidak bisa disamakan dengan sistem pajak flat seperti yang disarankan oleh ekonom Amerika Serikat (AS) Arthur B.Laffer.

Menurutnya, prinsip keadilan dan distribusi sosial menjadi alasan utama mengapa Indonesia menerapkan tarif pajak progresif.

“Kalau yang sangat kaya dengan yang pendapatannya hanya di UMR bayar pajaknya sama, setuju nggak? Saya hampir yakin semua bilang nggak setuju,” ujar Sri Mulyani dalam acara CNBC Economic Outlook 2025

Sri Mulyani menegaskan bahwa Indonesia menganut sistem pajak penghasilan (PPh) Orang Pribadi (OP) dengan lima lapisan tarif, yakni 5%, 15%, 25%, 30%, dan 35%. 

Sistem ini dibuat berdasarkan prinsip keadilan, di mana masyarakat berpendapatan tinggi dikenakan tarif lebih besar dibanding masyarakat berpendapatan rendah.

“Yang pendapatannya di atas Rp 5 miliar dengan yang pendapatannya Rp 60 juta per tahun, ya seharusnya ratenya beda. Itu asas keadilan,” katanya.

Di sisi lain, ia juga menyebut bahwa tarif pajak penghasilan korporasi di Indonesia sebesar 22% tergolong moderat dibanding negara lain. Beberapa negara memiliki tarif lebih tinggi, bahkan mencapai 30–35%.

Menurut Sri Mulyani, pajak progresif merupakan bagian dari instrumen fiskal untuk mengurangi ketimpangan. 

Ia mencontohkan bahwa tanpa intervensi pemerintah melalui belanja negara, kelompok masyarakat miskin tidak akan bisa bersaing secara adil dalam sistem pasar.

“Nggak mungkin anak-anak yang bayinya tidak diimunisasi atau yang gizinya kurang bisa bersaing secara sempurna dan adil dengan mereka yang bayinya gizinya baik,” ucapnya.

Pemerintah, lanjut Sri Mulyani, harus hadir menyediakan layanan dasar seperti sekolah, kesehatan, gizi, hingga infrastruktur publik, agar masyarakat bisa berkompetisi secara sehat dalam pasar terbuka.

Sebelumnya, Ekonom ternama asal Amerika Serikat (AS), Arthur B.Laffer, menekankan pentingnya sistem perpajakan yang netral dan tidak diskriminatif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

Laffer memberikan kritik kebijakan pajak yang memberi perlakuan khusus terhadap kelompok tertentu, baik secara positif maupun negatif.

“Anda perlu memiliki pajak tetap dengan tarif rendah dan cakupan luas sehingga anda tidak mendiskriminiasi orang-orang yang sukses,” ujar Laffer dalam acara yang sama.

Menurut pencetus teori Laffer Curve tersebut, sistem perpajakan yang ideal adalah flat tax atau pajak daftar, di mana satu tarif untuk semua wajib pajak, yang dirancang hanya untuk mengumpul penerimaan negara secara efisien, bukan sebagai alat intervensi sosial.

23 Juni 2025 Robertus Ballarminus Leave a comment

DJP Awasi Para Influencer dan Content Creator Terkait Pelaporan Pajak

Share Button

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengaku telah melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap para influencer hingga content creator terkait pelaporan perpajakannya.

Hal tersebut disampaikan langsung oleh Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal dalam diskusi publik di Hotel Ashley Wahid Hasyim, Selasa (27/5).

Namun, keterbatasan klasifikasi data dan struktural sektoral membuat penarikan data penghasilan para influencer menjadi tantangan tersendiri.

“Apakah kemudian kita pernah melakukan pengawasan atau pemeriksaan terhadap para influencer? Saya bisa pastikan sudah pernah dilakukan juga, karena memang ada catatannya,” ujar Yon.

Menurutnya, Otoritas Pajak memang memiliki tugas untuk memastikan apa yang dilaporkan dan disetorkan sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Hanya aja, identifikasi profesi influencer kerap kali tumpang tindih karena sesorang bisa berstatus sebagai ASN atau pegawai swasta, namun juga menjalani aktivitas sebagai influencer. 

Hal ini menyulitkan proses pemetaan dan pelaporan secara spesifik. Apalagi kata Yon, profesi influencer belum memiliki  Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) tersendiri.

“Tapi kita tidak spesifik meng-address harus si influencer ini A, B, C. Karena setiap orang yang ditemukan datanya, kemudian ternyata berbeda dengan yang dilaporkan di SPT, tentu harus kita follow up. Follow up-nya itu ya bertahap, mulai dari soft dulu, kita lakukan verifikasi, klarifikasi, baru tindakan-tindakan yang lain,” jelasnya.

Meski begitu, Yon menegaskan bahwa prinsip perpajakan tetap berlaku secara umum, yakni sepanjang penghasilan di atas penghasilan tidak kena pajak (PTKP), maka tetap harus membayar pajak sesuai tarif yang berlaku.

“Apapun profesinya, ya mau pegawai negeri, pekerja, influencer, pengusaha, sepanjang omzet atau penghasilan dia di atas PTKP, ya bayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan tarif yang ada,” tegas Yon.

Sebagai informasi, pajak influencer maupun content creator  bukanlah jenis pajak baru, karena sudah diatur dalam UU PPh.

Adapun wajib pajak orang pribadi yang berprofesi sebagai influencer tergolong sebagai wajib pajak yang melakukan pekerjaan bebas.

2 Juni 2025 Robertus Ballarminus Leave a comment

Tax Amnesty Jilid III dan Family Office Dinilai Untungkan Kelompok Kaya & Super Kaya

Share Button

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Rumor pergantian Direktur Jenderal Pajak di Lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) kembali kencang.

Terkait hal itu, Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan bahwa siapapun yang akan menjabat harus menolak wacana pengampunan pajak alias Tax Amnesty jilid III dan pembentukan Family Office. 

Menurutnya, kedua kebijakan tersebut tidak mencerminkan asas keadilan dalam sistem perpajakan.

“Siapapun yang akan menjadi Dirjen Pajak selanjutnya, sudah seharusnya menolak kebijakan Tax Amnesty jilid III maupun Family Office,” ujar Fajry kepada Kontan.co.id, Minggu (18/5).

Fajry menilai, baik Tax Amnesty jilid III maupun Family Office lebih menguntungkan kelompok kaya dan super kaya, sekaligus berpotensi menurunkan kepatuhan pajak secara umum. 

“Keduanya merupakan opsi kebijakan pajak yang tidak berkeadilan, mementingkan kelompok kaya dan super kaya. Keduanya juga akan menggerus kepatuhan wajib pajak,” katanya.

Tidak hanya itu, ia menegaskan bahwa kedua kebijakan tersebut dampaknya terhadap penerimaan negara justru bisa negatif.

“Saya sendiri ragu kalau ada dampak positif dari TA jilid III bagi penerimaan negara,” imbuhnya.

Sementara itu, Ketua Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Pino Siddharta menilai, kebijakan tax amnesty Jilid III memang bisa menjadi salah satu alternatif yang bisa diambilk pemerintah sehubungan dengan melambatnya penerimaan pajak pada 2025.

“Walaupun banyak pihak yang tidak setuju dengan tax amnesty yang terlalu pendek penerapannya,” kata Pino.

Apalagi dengan pemberlakuan Coretax, kata Pino, semua informasi keuangan wajib pajak sangat tersebut sehingga opsi pemberian tax amnesty bisa dipertimbangkan kembali oleh pemerintah.

Ia mengakui bahwa penerapan tax amnesty akan menimbulkan banyak kontra terutama bagi wajib pajak yang selama ini sudah melaksanakan kewajibannya dengan baik.

Selain itu, pemberian tax amnesty yang terlalu sering juga akan mendorong ketidakpatuhan wajib pajak. 

Dalam hal ini, bukan hanya bagi wajib pajak yang tidak patuh, melainkan wajib pajak yang patuh juga akan terdorong menjadi tidak patuh.

“Jika pemerintah memikirkan untuk tujuan pendek, alternatif tax amnesty bisa diambil, tetapi untuk tujuan menengah dan panjang justru akan merugikan pemerintah,” terangnya.

Di sisi lain, Pino juga mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan kembali  rencana pendirian Family Office karena dianggap mengusik rasa keadilan bagi wajib pajak secara umum.

“Karena wacara Family Office belum tentu akan mengundang minat banyak investor asing,” pungkasnya.

19 Mei 2025 Robertus Ballarminus Leave a comment

Sri Mulyani Sebut Pemerintah Serius Perluas Basis Pajak dengan Bidik Sektor Ilegal

Share Button

KONTAN.CO.ID –  JAKARTA. Pemerintah berencana memperluas basis pajak dengan membidik sektor ilegal. Namun, langkah ini dihadapkan pada tantangan besar. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa pemerintah terus berupaya mengoptimalkan penerimaan pajak serta meningkatkan rasio pajak (tax ratio). Salah satu upaya yang dilakukan adalah memperkuat ekstensifikasi pajak, termasuk menyasar sektor ilegal yang selama ini belum tergarap secara optimal. 

Sri Mulyani menegaskan bahwa langkah konkret tengah dilakukan, terutama terhadap sektor dengan potensi pajak besar.

“Langkah-langkah ekstensifikasi dilakukan dari sisi pemungutan yang berpotensi atau yang selama ini memang belum terkumpul secara memadai,” ujar Sri Mulyani dalam Konferensi Pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Kamis (24/4).

Beberapa sektor ilegal yang menjadi fokus pemerintah meliputi penangkapan ikan ilegal (illegal fishing), penebangan liar (illegal logging), dan pertambangan ilegal (illegal mining).

Sri Mulyani menjelaskan bahwa upaya tersebut melibatkan kerja sama lintas kementerian dan lembaga untuk memperkuat pengawasan dan penegakan aturan. 

“Ini kami lakukan melalui berbagai kerjasama dengan kementerian/lembaga, apakah itu sektor perikanan atau sektor lain, termasuk illegal mining, illegal logging, illegal fishing. Itu kami akan lakukan bersama-sama,” kata dia.

Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menilai bahwa pemungutan atau penagihan pajak dari sektor ilegal menghadapi tantangan dan risiko besar. 

Namun, ia mengakui potensi penerimaan pajak dari sektor tersebut sangat besar. “Pemungutan atau penagihan pajak dari sektor ilegal bukanlah hal mudah dan sangat berisiko bagi petugas pajak,” ujarnya.

Senada, Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menilai bahwa penertiban sektor ilegal tidak hanya bertujuan meningkatkan penerimaan pajak, tetapi juga memulihkan keadilan bagi pelaku usaha legal yang selama ini dirugikan akibat persaingan tidak sehat.  “Negara memiliki kewajiban mengubah ekonomi bawah tanah ini menjadi sistem ekonomi formal yang produktif dan transparan,” imbuhnya.

Syafruddin menambahkan bahwa sektor ilegal memiliki peran besar dalam perekonomian meskipun kontribusinya tidak tercatat dalam Produk Domestik Bruto (PDB). 

“Jika melakukan pendekatan estimatif berbasis data kerugian dan aktivitas lapangan, potensi ke ekonomi bisa ratusan triliun rupiah per tahun,” ujar dia.

29 April 2025 Robertus Ballarminus Leave a comment

DJP Update Perkembangan Perbaikan Sistem Coretax per 20 April, Tekan Lonjakan Latensi

Share Button

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus melakukan evaluasi dan peningkatan system aplikasi Coretax DJP untuk memberikan layanan perpajakan yang lebih optimal bagi masyarakat. 

Dwi Astuti, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP menyampaikan, selama periode 24 Maret hingga 20 April 2025, system aplikasi Coretaz DJP telah melakukan pembaruan system, mulai dari kinerja sistem, khususnya pada proses login, registrasi, penerbitan faktur pajak, pelaporan SPT, dan pembuatan bukti potong.

“Selama periode 24 Maret hingga 20 April 2025, sistem aplikasi Coretax DJP menunjukkan performa yang stabil. Namun demikian, tercatat terdapat beberapa fluktuasi waktu tunggu (latensi) terutama saat volume transaksi mengalami peningkatan secara signifikan pada fungsi-fungsi tertentu,” ungkap Dwi dikutip dari keterangan resminya, Rabu (23/4).

Dwi juga menjelaskan, pada proses login Coretax menunjukkan performa yang sangat stabil. Latensi rata-rata untuk login hanya memerlukan Waktu di Bawah 0,1 detik atau kurang dari 100 milidetik, dengan performa terbaik tercatat sebesar 0,084 detik atau 8,4 milidetik pada tanggal 18 April 2025.

Kemudian untuk pelaporan SPT, beberapa kali mencatatkan lonjakan latensi, seperti pada tanggal 26 Maret 2025 mencatatkan lonjakan latensi secara signifikan yakni mencapai 21,231 detik dan 30,1 detik pada 27 Maret 2025. Namun penyempurnaan terus dilakukan sehingga latensi berhasil ditekan menjadi 0,00118 detik atau 1,18 milidetik di 19 April 2025. 

Latensi penerbitan faktur pajak sempat mencatat latensi tinggi sebesar 9,368 detik pada 15 April 2025, tetapi per 18 April 2025 latensi kembali turun menjadi 0,102 detik. Fluktuasi latensi terjadi juga dipengaruhi oleh peningkatan volume penerbitan faktur pajak. 

Begitu juga dengan bukti potong pajak yang menunjukkan lonjakan latensi tertinggi mencapai 51,90 detik pada 15 April 2025. Pada tanggal 20 April 2025, data menunjukkan penurunan latensi menjadi 0,197 detik. 

“Pada periode akhir Maret sampai dengan 17 April 2025, DJP juga telah melakukan sejumlah penyempurnaan sistem Coretax DJP sebagai upaya untuk meningkatkan kinerja Coretax DJP,” ungkap Dwi.

Penyempurnaan sistem Coretax DJP ini mulai dari pendaftaran wajib pajak, faktur pajak, bukti potong, pelaporan SPT, pembayaran pajak, hingga penyempurnaan layanan perpajakan seperti penyempurnaan sistem pada layanan Surat Keterangan Bebas (SKB), Surat Keterangan Fiskal (SKF), dan Surat Keterangan untuk Bakal Calon Kepala Daerah. 

Lainnya adalah penyempurnaan prepopulasi data untuk layanan berbasis data Indonesia National Single Window (INSW) dan QR Code dokumen endorsement, dan penyempurnaan pada layanan permohonan penggantian atau pembatalan dokumen pajak, serta validasi nama wajib pajak dengan karakter khusus. 

DJP mengimbau kepada wajib pajak agar terus mengikuti pengumuman resmi yang dikeluarkan DJP. Beberapa panduan terkait langkah-langkah penggunaan aplikasi Coretax DJP dapat diakses pada laman website DJP, dan dapat mengimbau kantor pajak jika mengalami kendala.

24 April 2025 Robertus Ballarminus Leave a comment

Hampir 3 Minggu Beroperasi, Coretax Masih Dibanjiri Keluhan Wajib Pajak

Share Button

KONTAN.CO.ID-JAKARTA Sejak diluncurkan pada awal tahun 2025, sistem Coretax yang dirancang Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mendukung pelaporan pajak elektronik terus menjadi sorotan oleh Wajib Pajak. 

Alih-alih mempermudah, banyak wajib pajak mengeluhkan berbagai masalah teknis yang mereka hadapi. Hingga kini, 19 hari sejak Coretax diluncurkan, media sosial X (sebelumnya Twitter) masih ramai dengan keluhan terkait sistem ini.

Salah satu pengguna, @a**g, mengungkapkan bahwa status faktur pajaknya tidak berubah meski sudah mencoba menyegarkan halaman berulang kali. 

“@kring_pajak, bagaimana supaya faktur di Coretax berubah sudah di refresh dan ditunggu lama, gak berubah juga,” tulisnya.

Berdasarkan penelusuran KONTAN, permasalahan serupa juga dilaporkan oleh banyak pengguna lainnya, yang mengaku tidak dapat menyelesaikan proses pembuatan faktur.

Tidak hanya itu, seorang pengguna lain mengunggah tangkapan layar yang menunjukkan pesan error saat mencoba menginput retur pajak. Pesan tersebut menyebutkan bahwa hanya faktur pajak dengan status tertentu yang dapat diproses.

“Faktur Pajak Masukan Desember sudah saya kreditkan di efaktur, tapi waktu mau input nomor faktur di Coretax gak bisa,” tulis pengguna X dengan akun @D**07.

Pengguna dengan nama akun @p**in turut mengeluhkan bahwa masalah di Coretax menyebabkan keterlambatan operasional di bulan Januari.

Meski demikian, ada beberapa pengguna yang mencoba memberikan apresiasi kepada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Akun @i**07 mencatat bahwa Coretax menunjukkan beberapa perbaikan.

“Coretax sudah mulai bagus, cuman untuk upload/approve faktur secara massal masih belum bisa. Harus satu-satu, dan itu memakan waktu lama,” katanya.

Di tengah kekacauan ini, Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda, turut angkat bicara.

Ia menyatakan bahwa pemerintah terlalu terburu-buru dalam meluncurkan Coretax meski sistemnya belum siap sepenuhnya.

“Tidak ada tes secara proper yang dilakukan oleh konsultan, baik quality assessment maupun programmer-nya,” ujar Huda kepada Kontan.co.id, Minggu (19/1).

Huda menambahkan, pemerintah seharusnya bertanggung jawab lebih dari sekadar pernyataan maaf. Ia bahkan menyarankan agar Dirjen Pajak mundur sebagai bentuk tanggung jawab moral. 

Meskipun masyarakat dipastikan tidak didenda, namun secara kerugian negara ada dampaknya ketika aplikasi yang sudah dibangun tidak dapat dimaksimalkan oleh masyarakat.

Tak hanya itu, Huda juga menilai perlunya evaluasi terhadap Menteri Keuangan Sri Mulyani di 100 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran.

“Dirjen pajak sudah sepatutnya juga mundur apabila masih memiliki rasa malu dan bertanggung jawab terhadap problem (masalah) ini,” katanya. 

21 Januari 2025 Robertus Ballarminus Leave a comment

Mulai Januari 2025, Pelaporan SPT Tahunan Wajib Pajak Akan Semakin Mudah

Share Button

KONTAN.CO.ID-JAKARTA Wajib Pajak saat ini tengah menanti implementasi penuh sistem perpajakan baru bernama Coretax System yang rencananya akan diimplementasikan mulai Januari 2025 mendatang.

Kehadiran sistem yang dirancang oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) ini mendapat perhatian dari para Wajib Pajak. Hal ini dikarenakan sistem baru ini diharapkan bisa mempermudah proses administrasi bagi Wajib Pajak dan petugas pajak dengan mengintegrasikan berbagai layanan perpajakan ke dalam satu platform digital yang intuitif.

Salah satu kemudahan yang akan didapatkan oleh Wajib Pajak adalah kemudahan dalam pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.

Dalam hal ini, Fitur Prepopulated dalam pelaporan SPT akan semakin disempurnakan untuk memberikan kemudahan lebih bagi Wajib Pajak.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Dwi Astuti mengatakan bahwa sebelumnya fitur prepopulated amat bergantung pada pelaporan SPT Pemotong Pajak dan terbatas pada jenis PPh Pasal 21.

Namun, ke depan fitur tersebut akan semakin luas cakupannya. Nantinya, fitur prepopulated otomatis akan tersedia dalam Coretax karena bukti potong dibuat di sana.

Fitur prepopulated ini tidak hanya mencakup PPh Pasal 21, tetapi juga akan meliputi berbagai jenis pajak lainnya, seperti PPh Pasal 15, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 25, serta PPh Final Pasal 4 ayat (2).

“Sehingga pelaporan SPT Tahunan PPh akan lebih efisien,” ujar Dwi dalam keterangannya, Jumat (15/11).

Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo juga mengatakan bahwa Coretax akan dilengkapi dengan sistem prepopulated untuk mempermudah proses pelaporan.

“Jadi memang apabila Coretax sudah diimplementasikan, semua pelaporan dilakukan melalui Coretax, dan pelaporan pun juga sebetulnya diberikan kemudahan karena kita siapkan pre-populated SPT,” kata Suryo dalam Konferensi Pers di Jakarta, Jumat (8/11).

Bagi wajib pajak badan yang menerbitkan bukti potong dan bukti pungut pajak, laporan tersebut akan dihasilkan otomatis oleh sistem, sehingga wajib pajak hanya perlu memverifikasi data sebelum melaporkannya.

Suryo juga menyoroti pentingnya kesiapan wajib pajak, terutama untuk wajib pajak badan, dalam menghadapi perubahan sistem ini. Sebagai upaya untuk memfasilitasi transisi, Ditjen Pajak akan memberikan edukasi secara berkelanjutan. 

Mengingat jumlah wajib pajak badan lebih sedikit dibanding wajib pajak orang pribadi, Suryo akan menginstruksikan semua kantor pajak di seluruh Indonesia untuk menjangkau wajib pajak badan guna menjelaskan dan memberikan gambaran terkait pengisian SPT melalui Coretax.

“Jadi kami minta seluruh kantor kami di seluruh Indonesia untuk bisa reaching out Wajib Pajak Badan, bercerita dan menyampaikan kira-kira apa yang akan dilakukan pada waktu menyampaikan SPT melalui Coretax yang akan kita implementasikan ke depan,” katanya.

Sementara itu, pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax). 

Beleid tersebut ditetapkan pada tanggal 14 Oktober 2024 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2025. Latar belakang penerbitan PMK ini adalah kebutuhan akan regulasi dalam rangka pelaksanaan pembaruan sistem administrasi perpajakan yang lebih transparan, efektif, akuntabel dan fleksibel.

18 November 2024 Robertus Ballarminus Leave a comment

Ini Aturan Pelaksanaan Coretax System, Ada Kemudahan untuk Wajib Pajak

Share Button

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pemerintah menerbitkan aturan pelaksanaan dari coretax system atau sistem administrasi perpajakan yang baru.

Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan alias Coretax. 

Beleid ini ditetapkan pada tanggal 14 Oktober 2024 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2025.

Adapun latar belakang penerbitan aturan ini adalah kebutuhan akan regulasi dalam rangka pelaksanaan pembaruan sistem administrasi perpajakan yang lebih transparan, efektif, akuntabel dan fleksibel. 

Seperti diketahui reformasi pajak melibatkan lima pilar, yaitu pilar organisasi; sumber daya manusia; teknologi informasi dan basis data; proses bisnis; dan peraturan erundang-undangan. 

Pilar teknologi informasi dan basis data serta proses bisnis inilah yang perlu diatur melalui regulasi yang komprehensif. 

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Dwi Astuti mengatakan, poin-poin yang diatur dalam PMK ini menjadi dasar hukum implementasi hasil penataan ulang proses bisnis (business process reengineering) pada sistem inti administrasi perpajakan yang baru.

Dwi menyebut, PMK ini berdampak pada 42 peraturan yang sekarang masih berlaku. Saat ini pihaknya sedang menggodok aturan turunan yang merupakan petunjuk pelaksanaan PMK Nomor 81 Tahun 2024. 

“Dengan aturan pelaksanaan tersebut kami harap pemahaman masyarakat terhadap hal-hal yang diatur dalam PMK Nomor 81 Tahun 2024 akan mudah tercapai,” ujar Dwi dalam keterangan resminya, Jumat (15/11).

Terbitnya PMK Nomor 81 Tahun 2024 memfasilitasi kemudahan-kemudahan yang akan dinikmati wajib pajak. Kemudahan tersebut di antaranya:

1. Registrasi menjadi lebih mudah, dapat dilakukan di semua Kantor Pelayanan Pajak (borderless), melalui berbagai saluran yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak atau melalui pihak lain (omni channel), dan tervalidasi dengan sumber data (single source of truth).

2. Tersedianya Akun wajib pajak (taxpayer account) yang dapat diakses secara daring melalui portal wajib pajak sehingga memudahkan wajib pajak untuk dapat melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan secara elektronik. 

3. Jatuh tempo pembayaran atau penyetoran masa beberapa jenis pajak diseragamkan menjadi tanggal 15 bulan berikutnya. Penyeragaman tersebut memudahkan tata kelola dan administrasi pembayaran pajak.

4. Wajib pajak dapat melakukan pembayaran dan penyetoran pajak menggunakan deposit pajak. Keberadaan deposit pajak dapat menghindarkan wajib pajak dari risiko keterlambatan pembayaran pajak.

5. Pemerintah mempermudah proses permohonan fasilitas PPh tanpa perlu melampirkan Surat Keterangan Fiskal (SKF) sepanjang wajib pajak telah memenuhi kriteria yang ditentukan. Sebelumnya, untuk memperoleh fasilitas PPh, wajib pajak harus melampirkan SKF wajib pajak dan/atau seluruh pemegang saham.

6. Satu kode billing dapat digunakan untuk membayar lebih dari satu jenis setoran pajak. Sebelumnya, satu kode billing hanya bisa digunakan untuk membayar satu jenis setoran pajak. 

7. Kemudahan dalam pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) dengan fitur prepopulated. Sebelumnya, fitur prepopulated amat bergantung pada pelaporan SPT Pemotong Pajak dan terbatas pada jenis pajak PPh Pasal 21.

Ke depannya, fitur prepopulated otomatis akan tersedia dalam Coretax karena bukti potong dibuat di sana. Fitur ini tidak hanya mengakomodasi PPh Pasal 21, tetapi juga mencakup PPh Pasal 15, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 25, dan PPh Final Pasal 4 ayat (2), sehingga pelaporan SPT Tahunan PPh akan lebih efisien.

8. Pendaftaran objek PBB untuk memperoleh Nomor Objek Pajak (NOP) dan pelaporan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) dilakukan pada KPP tempat wajib pajak pusat terdaftar.

18 November 2024 Robertus Ballarminus Leave a comment

Posts navigation

← Previous 1 2 3 … 36 Next →
Powered by WordPress | theme SG Simple