Konsultan Pajak Lukman Tax Center

Konsultan Pajak Lukman Tax Center

Konsultan Pajak Lukman Tax Center
  • Amnesti Pajak
  • Downloads
    • Download E-Faktur
    • Formulir Pajak
  • Tanya Jawab
  • Contact
  • Profile

Siap-siap, pemerintah bakal tagih utang pajak WP yang ada di 13 negara ini

Share Button

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan menagih utang pajak para wajib pajak yang berada di luar negeri. Saat ini ada 13 negara yang sudah menjalin kerjasama dengan pemerintah Indonesia, untuk memberikan data wajib pajak dalam negeri bersangkutan.

Adapun 13 negara yang sudah bekerja sama dengan Indonesia antara lain Aljazair, Amerika Serikat, Armenia, Belanda, Belgia, Filipina, India, Laos, Mesir, Suriname, Yordania, Venezuela, dan Vietnam.

Kebijakan tersebut tertuang dalam Undang Undang (UU) Nomor 7 tahun 2021 Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan penagihan piutang pajak itu berkaitan dengan program asistensi penagihan pajak global.

Hal tersebut mencakup pemberian bantuan penagihan dengan pemberian bantuan penagihan pajak kepada negara/yuridiksi Mitra. Kemudian permintaan bantuan penagihan berkaitan permintaan bantuan penagihan pajak kepada Negara/Yuridiksi Mitra.

Namun piutang pajak yang ditagih harus berdasarkan keputusan hukum yang sudah inkrah dan berada di luar negeri. “Jadi wajib pajak yang memiliki piutang pajak yang sudah inkrah keputusan hukum dan dia tinggal di luar negeri, maka kita kerja sama dengan negara tempat ia tinggal tersebut untuk membantu menagih,” kata Yon.

Sebaliknya, apabila ketiga belas negara tersebut memiliki wajib pajak yang mangkir dan tinggal di Indonesia, maka Ditjen Pajak bisa membantu menagihnya. “Nah selama ini tidak bisa dieksekusi karena aturan di kita tidak memungkinkan untuk melaksanakan itu,” kata dia.

Yon memberikan contoh, jika terdapat wajib pajak dengan piutang pajak ke Indonesia yang tinggal di Amerika Serikat (AS), Ditjen Pajak bisa meminta bantuan otoritas pajak AS menagih utang tersebut.

“Pajak internasional ini yang pertama asistensi penagihan pajak global ini bagian komitmen Indonesia pemerintah untuk berada setara dengan negara lain,” kata Yon.

4 November 2021 Robertus Ballarminus Leave a comment

Ditjen pajak akan beri kemudahan bagi UMKM untuk pungut PPN final

Share Button

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah berencana menerapkan pajak pertambahan nilai (PPN) final kepada usaha mikro kecil menengah (UMKM). Rencananya tarif yang dibanderol sebesar 1%, 2%, atau 3% terhadap peredaran bruto.

Tarif tersebut lebih rendah daripada tarif PPN secara umum sebesar 11% yang akan diimplementasikan pada 1 April 2022. Kebijakan tersebut tertuang dalam Undang-Undang (UU) tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Neilmaldrin Noor mengatakan, agar pungutan PPN final tidak memberatkan pelaku usaha khususnya UMKM, pihaknya memudahkan prosedur yang diberikan kepada pengusaha kena pajak (PKP) yang melakukan kegiatan usaha. 

“Dalam pelaksanaanya akan diberi kemudahan dalam mengurus prosedur yang diberikan terhadap PKP yang melakukan kegiatan usaha tertentu,” kata Neilmaldrin kepada Kontan.co.id, Rabu (13/10).

Selain itu, Direktorat Jendral Pajak juga akan memberikan kemudahan dalam melakukan penyerahan barang kena pajak (BKP) atau jasa kena pajak (JKP) tertentu dalam mekanisme PPN final tersebut.

Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu menerangkan, pihaknya juga akan menyusun Peraturan Menteri Keuangan (PMK) agar UMKM dapat melakukan pungutan dan penyetoran PPN yang lebih rendah dari tarif PPN secara normal.

“UU HPP juga memberikan kemudahan dan dukungan pada pengusaha kecil dalam melakukan kewajiban PPN dengan memperkenalkan tarif final,” imbuhnya.

13 Oktober 2021 Robertus Ballarminus Leave a comment

Tax amnesty jilid II untuk meningkatkan rasio pajak

Share Button

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah bakal menggelar kembali program tax amnesty  atau pengampunan pajak lagi mulai awal tahun depan. Pemerintah menjanjikan tarif ringan di tax amnesty  jilid II ini demi menarik minat  banyak wajib pajak (WP) di program ini.

Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), program ini diberi nama voluntary disclosure program (VDP) atau program pengungkapan sukarela.

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengatakan, pemerintah sudah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan rasio pajak, akan tetapi masih belum berhasil.

Sehingga pilihan paling rasional saat ini adalah memperluas basis pajak, menaikkan tarif pajak, dan program pengampunan pajak. Menurutnya, pemerintah juga mengakui ada keterbatasan ruang fiskal karena praktik aggressive tax planning yang semakin canggih.

“Kalau saya buat simulasi pakai analisis tren berdasarkan data tax ratio 2005-2019, empat tahun ke depan masih sulit mengatrol tax ratio karena ketidakpastian ekonomi akibat pandemi Covid-19,” tutur Prianto kepada Kontan.co.id, Rabu (6/10).

Menurutnya, tren yang tergambar masih cenderung menurun. Dia mengatakan, siapapun pembuat kebijakan pasti harus optimistis bahwa pilihan kebijakan yang paling rasional saat ini sesuai RUU HPP dapat meningkatkan tax ratio sehingga pada 2023 defisit anggaran dapat kembali ke 3% sesuai amanat UU Keuangan Negara.

Sehingga, pada akhirnya, pemerintah memilih jalan penegakan hukum adminitrasi (administrative law enforcement) dan tidak melalui enforced compliance berupa pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, dan/atau penyidikan untuk praktik offshore tax evasion.

Selain itu, Prianto mengatakan, pemerintah memilih voluntary compliance sehingga banyak wajib pajak yang masih melakukan offshore tax evasion bisa sadar dan mau mengikuti program pengungkapan sukarela tersebut.

“Makanya, tarif PPh final-nya dikecilkan dari tarif PPh final yang menjadi turunan dari UU tax amnesty dan tarif di sunset policy sebelumnya,” imbuhnya.

8 Oktober 2021 Robertus Ballarminus Leave a comment

Ini penjelasan Menkeu Sri Mulyani terkait isu pemilik NIK wajib bayar pajak

Share Button

KONTAN.CO.ID – Jakarta. Penambahan fungsi Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada KTP untuk keperluan perpajakan menimbulkan polemik. Di masyarakat muncul isu bahwa setelah memiliki NIK, setiap warga negara harus membayar pajak . 

Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan kabar kewajiban membayar pajak oleh setiap pemilik NIK adalah tidak benar. Mari kita simak penjelasannya.

Seperti diketahui, fungsi NIK untuk perpajakan tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). UU HPP disahkan DPR RI di Sidang Paripurna, Kamis (7/10/2021).

Dengan begitu, NIK pada KTP bisa digunakan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi wajib pajak orang pribadi. Namun, bukan berarti pemilik NIK harus membayar pajak?

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, penambahan fungsi NIK menjadi NPWP tidak serta-merta membuat anak usia di atas 17 tahun wajib membayar pajak. Dia bilang, penarikan pajak hanya dilakukan kepada wajib pajak yang punya penghasilan sesuai ketentuan yang berlaku.

“Ini untuk meluruskan mahasiswa baru lulus, belum kerja tapi punya NIK harus bayar pajak, (itu) tidak benar,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers UU HPP, Kamis (7/10/2021).

Wanita yang akrab disapa Ani ini menegaskan, pekerja ataupun wajib pajak yang memiliki penghasilan Rp 4,5 juta/bulan atau 54 juta per tahun tidak dikenakan pajak penghasilan (PPh) sama sekali. Golongan ini masuk dalam golongan penghasilan tidak kena pajak (PTKP).

Adapun penghasilan yang kena pajak dalam UU HPP adalah minimal Rp 60 juta per tahun, lebih tinggi dari besaran penghasilan di UU sebelumnya, yakni Rp 50 juta. “Kalau pendapatan mereka di bawah tidak kena pajak, dia tidak membayar pajak. Adanya UU HPP setiap orang yang punya pendapatan hingga Rp 4,5 juta perbulan, single, itu dia tidak kena pajak,” beber Sri Mulyani.

Sedangkan untuk wajib pajak yang memiliki penghasilan Rp 60 juta per tahun, maka akan dikenakan pajak penghasilan (PPh) dengan tarif 5 persen. Adapun untuk Rp 60 juta – Rp 250 juta akan dikenakan tarif pajak 15 persen dari penghasilan tersebut.

Di sisi lain, pihaknya menambah lapisan (bracket) PPh OP untuk penghasilan di atas Rp 5 miliar per tahun. Masyarakat tajir ini alan dikenakan tarif PPh sebesar 35 persen.

Semula UU PPh tidak mengatur besaran tarif pajak untuk pendapatan di atas Rp 5 miliar. “Inilah yang disebut azas keadilan dan gotong royong. Jadi masyarakat setiap punya NIK tidak langsung bayar pajak. Kalau Kalau pasangan suami istri punya putra atau putri, setiap tanggungan diberikan Rp 4,5 juta per tahun maksimal 3 orang,” pungkas Sri Mulyani.

Berikut ini lapisan tarif terbaru pajak penghasilan (PPh) Orang Pribadi (OP).

  • Penghasilan sampai dengan Rp 60 juta kena tarif pajak PPh 5 persen.
  • Penghasilan di atas Rp 60 juta – Rp 250 juta kena tarif pajak PPh 15 persen
  • Penghasilan di atas Rp 250 juta – Rp 500 juta kena tarif pajak PPh 25 persen.
  • Penghasilan di atas Rp 500 juta – Rp 5 miliar kena tarif pajak PPH 30 persen.
  • Penghasilan di atas Rp 5 miliar kena tarif pajak PPh 35 persen.

Itulah fakta tentang kewajiban membayar pajak dan penggunaan NIK untuk perpajakan. Jadi, jangan tertipu oleh isu yang menyebut bahwa pemilik NIK wajib membayar pajak.

8 Oktober 2021 Robertus Ballarminus Leave a comment

Pajak karbon mulai berlaku 1 April 2022, ini besaran tarifnya

Share Button

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah akan mengimplementasikan pajak karbon pada 1 April 2022 dalam Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP). Pungutan pajak baru ini  dikenakan terhadap badan yang bergerak di bidang pembangkit listrik tenaga uap batubara dengan tarif Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.

“Elemen pajak karbon yang baru mulai 1 April 2022 namun ikuti peta jalan di bidang karbon atau berhubungan dengan climate change,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers, Kamis (7/10).

Peta jalan karbon yang dimaksud yaitu memuat strategi penurunan emisi karbon, sasaran sektor prioritas, keselarasan dengan pembangunan energi baru dan terbarukan, dan/atau keselarasan antar berbagai kebijakan lainnya.

Sebelumnya dalam RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) tarif minimum pajak karbon ditetapkan Rp 75 per kg CO2e, dan kini turun menjadi Rp 30/kg CO2e.

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, tarif yang ada dalam UU HPP ini sudah disesuaikan dengan harga karbon. “Basic-nya kan karbon ini memiliki nilai ekonomi, dan artinya ada harganya. Jadi kita akan melakukan pengenaan pajak karbon dengan mekanisme ada perdagangannya dan ada pengenaan pajaknya,” kata Suahasil.

Selain itu, dalam penerapan pajak karbon ini, Suahasil mengatakan harus ada registrasinya dan MRT terlebih dahulu dan harus disiapkan. Sehingga Ia menghimbau agar beberapa sektor dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan segera mempersiapkan registrasi tersebut.  

Suahasil  mengatakan, penerapan pajak karbon ini akan mengikuti peta jalan dari pengembangan green ekonomi di Indonesia. Tentunya penerapan pajak karbon ini akan menerapkan prinsip keadilan dan keterjangkauan dengan memperhatikan iklim berusaha dan juga kegiatan ekonomi berusaha.

Lebih lanjut, Dia mengatakan tarif paling rendah Rp 30/kg CO2e ini akan siap diaplikasikan ke sektor yang sudah menjalankan secara mandiri. Salah satu sektor yang sudah menjalankannya adalah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang sudah mendesain perdagangan karbon sektor pembangkit diantara sesama sektor pembangkit di dalam sektor pembangkitan tenaga listrik dengan rata-rata harga Rp 30/kg CO2e tersebut.

“Tentunya nanti peta jalannya harus dibangun dan keberadaan UU ini yang sudah memberikan ruang untuk pajak karbon akan digunakan untuk mendorong supaya green ekonomi di Indonesia bisa lebih cepat,” imbuhnya.  

8 Oktober 2021 Robertus Ballarminus Leave a comment

Mayoritas fraksi DPR setuju dengan pajak karbon asalkan dengan tarif ringan

Share Button

KONTAN.CO.ID –  JAKARTA. Pemerintah telah mengusulkan pengenaan pajak karbon kepada Panita Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) Komisi XI DPR.

Tujuannya adalah memperluas basis penerimaan pajak dan meminimalisasi efek lingkungan dari emisi karbon.

Dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP), para anggota panja menolak usulan besaran tarif pajak karbon Rp 75 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e).

Fraksi Partai Gerindra meminta agar tarif pajak karbon ditetapkan paling rendah sebesar Rp 5 per kilogram CO2e atau satuan yang setara dan paling tinggi Rp 10 per kilogram CO2e.

Alasannya, penyesuaian tarif ini paling moderat mengingat Indonesia masih dalam proses pemulihan ekonomi. Makanya, Fraksi Partai Gerindra pun meminta agar implementasinya 5 tahun setelah RUU KUP diundangkan.

Sejalan, Fraksi Partai Nasdem meminta tarif pajak karbon sebesar Rp 5-Rp 10 per kilogram CO2e karena tarif tersebut harus menyesuaikan dengan tarif di negara lain yang lebih rendah dari usulan pemerintah.

Begitu juga Fraksi Partai Demokrat mengusulkan rentang tarif yang sama untuk mengurangi eksternalitas negatif atas dampak penerapan pajak karbon terhadap dunia usaha dan perekonomian.

Sementara itu, Fraksi Partai Golkar menolak usulan tarif dari pajak karbon, karena dinilai alasan pemerintah tidak mendasar.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan pengenaan pajak karbon merupakan bagian strategi dari upaya Indonesia untuk mengurangi gas rumah kaca.

Sesuai Paris Agreement, Indonesia berkomitmen untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) 41% pada 2030 dalam penanganan perubahan iklim.

“Pajak karbon akan bersinergi dengan pasar karbon untuk memperkuat ketahanan perekonomian Indonesia dari risiko perubahan iklim,” kata Menkeu.

Ketua Umum Asosiasi Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto tetap keberatan dengan pengenaan pajak karbon, meski tarifnya kelak lebih rendah. Sebab beleid ini langsung berdampak pada penurunan daya saing industri keramik di masa pandemi.

22 September 2021 Robertus Ballarminus Leave a comment

Ini alasan Sri Mulyani terapkan skema opsen pajak pada RUU HKPD

Share Button

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, dalam Rancangan Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah Keuangan (HKPD), pemerintah berencana akan menambahkan perpajakan dengan memberikan kewenangan pemungutan opsen pajak.

“Pemberian opsen pajak tersebut diharapkan dapat meningkatkan kemandirian daerah tanpa menambah beban wajib pajak,” ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR, Senin (13/9).

Sebagai informasi, dalam RUU HKPD akan memperkenalkan skema opsen atau pungutan tambahan atas pajak yang dikenakan kepada wajib pajak. Penerapan skema opsen akan berlaku kepada 2 jenis pajak, yaitu pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) pada Kabupaten/Kota,  juga pajak mineral bukan logam dan batuan (MBLB) pada provinsi.

Dia merinci, dalam PKB dan BBNKB, ketentuan opsen nantinya akan menggantikan skema bagi hasil yang selama ini berjalan antara pemerintah provinsi dan Kabupaten/Kota. Selain itu, opsen juga akan menjadi sumber pendapatan asli daerah (PAD) bagi kabupaten/kota.

Sementara untuk opsen pajak MBLB, opsen tersebut bertujuan untuk mendorong pemerintah daerah dalam memperkuat pengawasan kegiatan pertambangan setelah izin dan pengawasan minerba, sehingga menjadi kewenangan pusat dan didelegasikan sebagian kepada provinsi.

Sri Mulyani mengatakan, dalam 2 skema opsen pajak tersebut terdapat sistem administrasi pajak daerah yang nantinya akan berjalan lebih baik, sehingga pemerintah daerah dapat meningkatkan penerimaannya tanpa menambah beban wajib pajak.

“Adanya skema opsen ini juga, maka akan memberikan kepastian penerimaan dan keleluasaan belanja atas penerimaan pajak daerah dan akan menyelesaikan persoalan yang sering muncul karena skema dana bagi hasil pajak yang selama ini berlaku,” katanya.

Sementara itu, terkait skema opsen pajak mineral bukan logam dan batuan (MBLB), Sri Mulyani mengatakan, kebijakan opsen tersebut ditujukan untuk memperkuat fungsi penerbitan izin dan pengawasan kegiatan pertambangan di daerah. 

14 September 2021 Robertus Ballarminus Leave a comment

Ini penjelasan lengkap Ditjen Pajak soal skema 4 tarif PPN dalam RUU KUP

Share Button

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah saat ini tengah mengajukan rencana skema kebijakan pajak pertambahan nilai (PPN) yang terdiri dari empat tarif. Adapun ketentuan yang berlaku saat ini di Indonesia adalah tarif tunggal yakni sebesar 10%.

Rencana kebijakan tersebut tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Beleid ini kini tengah dibahas oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bersama Panitia Kerja (Panja) RUU KUP Komisi XI DPR RI.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Neilmaldrin Noor mengatakan, terkait dengan pengenaan multi tarif PPN, diharapkan dapat lebih mewujudkan rasa keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat.

“Sehingga golongan yang memiliki ability to pay atas Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) tertentu akan dikenai tarif yang lebih tinggi,” kata Neilmaldrin kepada Kontan.co.id, Kamis (2/9).

Lebih lanjut, empat tarif PPN yang diusulkan oleh pemerintah yakni, pertama general rate yakni tarif yang berlaku secara umum sebesar 12%. Pemerintah menyebut adanya kenaikan 2% atas tarif PPN yang berlaku saat ini merupakan kompensasi karena pemerintah telah menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) Badan.

Sejak tahun lalu tarif PPh Badan menjadi 22%, sebelumnya 25%. Kemudian sebagimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 terkait kebijakan keuangan negara akbibat pandemi virus corona, tarif PPh Badan akan diturunkan lagi menjadi 20% pada tahun 2022.

Toh pemerintah menilai, dengan tarif PPN baru, masih lebih rendah dibandingkan dengan rerata negara-negara yang tergabung dalam Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) sebesar 19% dan negara-negara seperti Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan (BRICS) sebesar 17%.

Kedua, lower rate PPN sebesar 5%-7% atas barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Tarif 5% rencananya diperuntukkan atas barang kebutuhan pangan dasar rumah tangga yang merupakan konsumsi paling besar masyarakat.

Kemudian, tarif 7% atas jasa tertentu untuk menjaga jasa terkait tetap berkualitas dan terjangkau. Misalnya jasa pendidikan dan angkutan penumpang.

“Terhadap BKP dan/atau JKP yang dikonsumsi masyarakat banyak diberikan tarif PPN lebih rendah dari tarif normal dan bagi masyarakat kecil dikompensasi dengan pemberian subsidi,” kata Neilmaldrin.

Ketiga, higher rate sebesar 15%-25% untuk barang yang tergolong mewah/sangat mewah seperti rumah dan apartemen mewah, pesawat terbang, dan yacht. Selain itu, tarif tersebut juga bakal berlaku bagi barang mewah lainnya seperti tas, sepatu, arloji, dan berlian.

Tujuan pemerintah mengajukan adanya higher rate PPN untuk memberikan keadilan atas barang-barang yang dikonsumsi oleh masyarakat ekonomi kelas atas atau kaya raya.

“Pengenaan tarif akan lebih tinggi untuk konsumsi barang mewah atau sangat mewah, sedangkan untuk BKP dan/atau JKP tertentu seperti bahan pangan kebutuhan dasar rumah tangga dan jasa pendidikan akan dikenakan tarif lebih rendah,” ujar Neilmaldrin.

Keempat, final rate sebesar 1% bagi pengusaha atau kegiatan tertentu. Misalnya, pengusaha kena pajak (PKP) dengan peredaran usaha maksimal Rp 1,8 miliar per tahun cukup setor PPN 1% dari peredaran usahanya.

Ketentuan PPN Final juga dirancang untuk PKP dengan kegiatan usaha tertentu seperti produk pertanian karena tidak memiliki pajak masukan.

Di sisi lain, Neilmaldrin menyampaikan ketentuan mengenai BKB/JKP tertentu beserta tarifnya akan diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP) sesuai dengan bunyi Pasal 44E RUU KUP.

“Sampai dengan saat ini, RUU KUP sedang dalam proses pembahasan bersama DPR serta seluruh pemangku kepentingan seperti asosiasi, akademisi, pengusaha, dan masyarakat lainnya,” ucap Neilmaldrin.

7 September 2021 Robertus Ballarminus Leave a comment

Laris manis, insentif pajak telah terserap Rp 51,97 triliun atau 82,7%

Share Button

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemberian insentif usaha dalam bentuk perpajakan telah dimanfaatkan puluhan ribu wajib pajak. Insentif yang diberikan kepada dunia usaha ini, paling laris dibandingkan program pemulihan ekonomi nasional (PEN) lainnya.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan, hingga 20 Agustus 2021, realisasi program PEN sebesar Rp 326,74 triliun, atau setara dengan 43,9% dari pagu Rp 744,77 triliun.

Secara rinci, insentif pajak telah terserap Rp 51,97 triliun atau setara dengan 82,7% terhadap total pagu sejumlah Rp 62,83 triliun. Pencapaian itu lebih tinggi dibandingkan anggaran kesehatan (35,9%), perlindungan sosial (53,2%), dukungan usaha mikro kecil menengah (UMKM) (29,6%), dan program prioritas (42,6%).

“Insentif usaha ini adalah yang paling tinggi pemanfaatannya oleh dunia usaha dalam bentuk relaksasi perpajakan. Dan beberapa masih kita lanjutkan sampai dengan akhir tahun,” kata Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara, belum lama ini.

Adapun dana tersebut telah dialokasikan untuk delapan insentif pajak. Pertama, berupa pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP) bagi 76.025 pemberi kerja. Kedua, PPh final UMKM DTP untuk 125.198 UMKM.

Ketiga, pembebasan PPh 22 impor untuk 9.305 wajib pajak (WP). Keempat, pengurangan angsuran PPh Pasal 25 sebesar 50% untuk 56.858 WP. Kelima, pengembalian pendahuluan atau restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) bagi 1.995 WP.

“Pengembalian pendahuluan PPN didapatkan oleh hampir 2.000 wajib pajak terutama wajib pajak manufaktur agar terus bisa berproduksi sehingga mendapatkan pendahuluan PPN,” ucap Suahasil.

Keenam, PPN DTP properti untuk 574 penjual yang pada akhirnya dimanfaatkan oleh 7.069 pembeli. Ketujuh, pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) mobil bagi 6 penjual untuk 89.050 unit mobil. Kedelapan, penurunan tarif PPh badan dari 25% menjadi 20% yang dimanfaatkan oleh seluruh WP badan.

“Realisasi pada kuartal II-2021 mencapai Rp 45 triliun, maka semala Juli saja terjadi peningkatan yang sangat signifikan dalam pemanfaatan insentif usaha ini oleh dunia usaha,” kata Suahasil.

Setali tiga uang dalam lima hingga empat kali masa pajak, sisa anggaran insentif pajak dalam PEN 2021 tinggal Rp 10,86 triliun. Secara umum, tujuh insentif usaha tersebut berlaku hingga akhir tahun ini.

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan, meskipun pagu insentif pajak dalam PEN makin tipis, tapi sejauh ini dari outlook Kemenkeu, anggarannya masih memadai. Sehingga, pemerintah merasa belum perlu untuk menambah anggaran.

“Untuk setiap pos insentif tentunya aka bervariasi capaiannya, tetapi secara agregat sejauh ini masih memadai. Kita akan terus evaluasi perkembangannya dari waktu ke waktu,” kata Yon kepada Kontan.co.id, Minggu (5/9).

7 September 2021 Robertus Ballarminus Leave a comment

Pemerintah samakan dokumen tertentu dengan faktur pajak, ini poin pengaturannya

Share Button

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengatur ulang jenis dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak.

Pengaturan kembali tersebut di antaranya meliputi:

– Perubahan klausul untuk Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) dengan kewajiban mencantumkan identitas pemilik barang.

– Penambahan dokumen bukti penerimaan pembayaran (setruk) yang dibuat oleh penyelenggara distribusi atas penjualan pulsa atau penerimaan komisi/fee terkait dengan distribusi token atau voucer.

– Pengaturan tersendiri bagi surat penetapan pembayaran bea masuk, cukai, atau pajak atas barang kiriman karena perbedaan mekanisme dengan Pemberitahuan Impor Barang (PIB) secara umum.

– Penambahan dokumen berupa bukti pungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas pemanfaatan Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).

– Penambahan dokumen berupa surat ketetapan pajak untuk menagih pajak masukan atas perolehan BKP atau JKP, impor BKP, serta pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean yang dilampiri dengan seluruh Surat Setoran Pajak (SSP) atas pelunasan jumlah PPN yang masih harus dibayar.

– Penambahan dokumen berupa Pemberitahuan Pabean Kawasan Ekonomi Khusus (PPKEK) yang mencantumkan identitas pemilik barang untuk impor BKP ke Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). 

– Penambahan dokumen berupa SSP atas pelunasan PPN terkait dengan penyerahan BKP atau JKP oleh pelaku usaha di KEK kepada pembeli atau penerima jasa yang berkedudukan di tempat lain dalam daerah pabean yang pada saat impor, pemanfaatan, atau perolehannya tidak dipungut PPN.

– Penambahan dokumen berupa SSP atas pelunasan PPN terkait dengan pengeluaran barang yang bukan merupakan penyerahan BKP oleh pelaku usaha di KEK kepada pembeli atau penerima jasa yang berkedudukan di tempat lain dalam daerah pabean yang pada saat impor, pemanfaatan, atau perolehannya tidak dipungut PPN.

– Penyesuaian ketentuan bagi dokumen berupa SSP untuk pembayaran PPN atas pengeluaran atau penyerahan BKP atau JKP dari kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas ke tempat lain dalam daerah pabean.

– Penambahan dokumen pengeluaran barang dari kawasan berikat yang merupakan penyerahan BKP atau JKP oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).

– Penambahan dokumen berupa SSP untuk pembayaran PPN atas pengeluaran BKP milik subjek pajak luar negeri dari kawasan berikat ke tempat lain dalam daerah pabean.

“Penambahan beberapa jenis dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak merupakan upaya untuk memberikan kemudahan bagi wajib pajak karena wajib pajak tidak perlu membuat faktur pajak tersendiri,” ungkap Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Neilmaldrin Noor DJP Kemenkeu dalam keterangannya, Minggu (15/8).

Lebih lanjut, Neilmaldrin mengatakan bahwa dengan adanya aturan ini, DJP berharap dapat mengurangi potensi kesalahan administrasi serta meningkatkan kepatuhan wajib pajak.

Ketentuan lebih lanjut terkait dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak dapat dilihat di Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2021 yang berlaku sejak 1 Agustus 2021. Peraturan ini juga dapat diakses melalui laman www.pajak.go.id. 

16 Agustus 2021 Robertus Ballarminus Leave a comment

Posts navigation

← Previous 1 2 3 … 31 Next →

Pos-pos Terbaru

  • Wajib Pajak Non-Efektif, Definisi, Kriteria dan Cara Pengajuannya
  • Penghapusan Sanksi Administrasi Pajak, Syarat dan Cara Pengajuannya
  • Pengumuman! NIK Bakal Jadi NPWP Mulai Tahun Depan
  • Tarif PPN Jadi Naik Mulai 1 April? Begini Jawaban Ditjen Pajak
  • Pemerintah Semakin Selektif dalam Memberikan Insentif Pajak di Tahun Ini

Find Us

Powered by WordPress | theme SG Simple