JAKARTA – Mantan Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Hadi Poernomo mengungkapkan, keterbukaan informasi keuangan dan lembaga keuangan yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2017, ternyata sudah diamanatkan DPR sejak 16 tahun silam.
Hal tersebut sebagaimana kesimpulan rapat kerja antara Panitia Anggaran (kini Badan Anggaran) DPR dan pemerintah yang diwakili Menteri Keuangan kala itu.
Menurutnya, substansi dari Perppu yang dikeluarkan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini sejalan dengan kesimpulan rapat kerja (raker) Panitia Anggaran DPR RI dengan Menteri Keuangan pada 11-16 Juli 2001.
“Substansi Perppu ini sebenarnya sebangun dengan kesimpulan rapat kerja antara pemerintah dan DPR tepat 16 tahun silam. Saya ingat karena saat itu saya baru menjabat sebagai Dirjen Pajak,” kata Hadi usai Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi XI DPR RI di Gedung DPR/MPR RI, Jakarta, Selasa (18/7/2017).
Dia menceritakan, sistem perpajakan Indonesia menggunakan sistem self assestment yakni wajib pajak diberikan hak atau diberi kewenangan untuk menghitung pajak sendiri (self assessment). Adapun yang dihitung, setiap tambahan kemampuan ekonomis dari berbagai sumber, dengan nama dan bentuk apapun, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak.
“Setelah itu timbul pertanyaan, apakah mampu petugas pajak menguji Surat Pemberitahuan (SPT) Wajib Pajak mengenai kebenaran atas jumlahnya, kelengkapan atas itemnya, dan kejelasan atas sumbernya. Tentu jawabannya tidak bisa. Mengapa? Karena tidak punya akses kepada sumber-sumber keuangan, sehingga diperlukan akses terhadap sumber-sumber keuangan,” tuturnya.
Berbagai kendala tersebut membuat Ditjen Pajak tidak optimal menggali potensi pajak. Sistem self assessment yang dianut rezim pajak Indonesia tidak akan bekerja maksimal tanpa keterbukaan dan akses informasi keuangan.
Sebab itu, saat masih menjabat sebagai Dirjen Pajak, dirinya mengusulkan beberapa langkah strategis kepada DPR untuk mengoptimalkan penerimaan pajak. Di antaranya pengampunan pajak (tax amnesty), Ditjen Pajak mendapat akses terhadap data nasabah kreditur dan debitur perbankan, serta pelaku transaksi keuangan dan lalu lintas devisa.
“Saat itu kami hanya berfikir, berbagai kendala ini hanya dapat diselesaikan jika mendapat dukungan DPR. Karena hanya DPR sebagai pemilik hak budgeter sekaligus hak membuat UU,” tuturnya.
Akhirnya, tambah mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ini, dalam pembahasan awal Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2002, Panitia Anggaran DPR dan Menteri Keuangan selaku wakil pemeirntah mencapai kesepakatan yang dituangkan dalam Kesimpulan Rapat Kerja antara DPR dan Pemerintah pada 16 Juli 2001 yang ditandatangani Menteri Keuangan Rizal Ramli dan Pimpinan Panitia Anggaran DPR.
“Karena langkah ini baru dari kami, kami tidak mau. Pemerintah dan DPR harus sepakat juga. Makanya 16 Juli 2001 kami dapat kesepakatan dengan DPR dan pemerintah,” ungkap Hadi.